.::Selamat Datang di Situs Kami , Semoga Website Kami ini Memberikan Pencerahan kepada Sahabat-Sahabat Mengenai Agama Kita yang Tercinta, Selamat Menikmati Hidangan Kami, dan Mohon Doanya ya Agar wAbsite Kami Tetap Eksis!! Amin::.

Senin, 16 Juni 2008

Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja

Apakah kalian termasuk remaja atau bukan? Badan organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebut remaja adalah manusia berusia antara 10 sampai 19 tahun, sedangkan PBB menyebut anak muda (youth) untuk usia 15 sampai 24 tahun.

Saat ini, lebih kurang 1 miliar manusia (1 di antara 6 manusia di bumi) adalah remaja dan 85% di antaranya hidup di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kelompok kaum muda termasuk remaja menghadapi berbagai risiko yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya, misalnya kehamilan dini dan kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, infeksi PMS (Penyakit Menular Seksual) atau HIV, dan kekerasan seksual.


Setiap tahun, kira-kira 15 juta remaja berusia 15 sampai 19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi HIV. Secara global, 40% dari semua kasus HIV terjadi pada kaum muda berusia 15 sampai 24 tahun. Perkiraan terakhir adalah, setiap hari terdapat 7.000 remaja terinfeksi HIV. Risiko kesehatan reproduksi remaja tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, misalnya tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan, kesetaraan jender (berhubungan dengan jenis kelamin), kekerasan seksual, serta pengaruh media massa dan gaya hidup masa kini.


Faktor sosial budaya (norma budaya) yang berkaitan dengan perbedaan jender dan hubungan seksual ternyata dapat meningkatkan risiko kesehatan reproduksi remaja. Simaklah beberapa fakta di bawah ini.


  1. Di beberapa negara, seperti India, praktik perkawinan yang diatur orang tua pada gadis di bawah usia 14 tahun masih sangat umum.
  2. Hubungan seksual terjadi pada gadis 9 sampai 12 tahun karena banyak pria dewasa mencari gadis muda sebagai pasangan seksual untuk melindungi diri mereka sendiri terhadap penularan penyakit PMS/ HIV.
  3. Di beberapa budaya, pria muda diharapkan untuk memperoleh hubungan seks pertama kalinya dengan pekerja seks komersial (PSK).
  4. Remaja, terutama putri sering kali dipaksa untuk berhubungan seks. Di Uganda misalnya, 40% siswi sekolah dasar yang dipilih secara acak melaporkan telah dipaksa untuk berhubungan seks.
  5. Di Sub-Sahara Afrika, pengalaman berhubungan seks pertama bagi beberapa remaja putri adalah dengan ”Om Senang” yang memberikan pakaian, biaya sekolah, dan buku sebagai imbalan atas jasa seks yang diberikan.
  6. Di negara berkembang, di antara jutaan anak yang hidup dan bekerja di jalanan banyak terlibat dalam survival sex (seks demi bertahan hidup). Mereka menukar seks dengan makanan, uang, jaminan keamanan, ataupun obat-obat terlarang. Contohnya, di kota Guatemala, ditemukan 40% dari 143 anak jalanan yang diteliti melakukan hubungan seks pertama dengan orang yang tidak dikenal; semua berhubungan seks demi uang; semua pernah dianiaya secara seksual; dan 93% pernah terinfeksi PMS.
  7. Di Thailand, diperkirakan 800 ribu PSK masih berusia di bawah 20 tahun (200 ribu di antaranya berusia di bawah 14 tahun). Beberapa di antara mereka ”dijual” sebagai PSK oleh orang tuanya guna menghidupi anggota keluarga yang lain.


Tidak ada komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008