Setelah kita mengetahui bagaimana menjalankan wudhu dengan mengikuti rukun-rukun wudhu yang ada, maka kita pun diharapkan untuk menyempurnakan wudhu yang kita lakukan, sebagaimana kita menyempurnakan ibadah sholat kita, mungkin dengan cara berusaha untuk khusu’, berjama’ah, dan lain sebagainya, begitupun dengan wudhu, wudhu juga sudah semestinyalah harus kita sempurnakan agar kita pun dalam ibadah wudhu berkesan dan juga tentunya mendapatkan balasan dari Allah SWT. yang Maha Bijaksana lagi Maha Kaya.
Wudhu membawa kita untuk bersuci secara dzahir maupun batin, oleh karena itu menyempurnakan wudhu sangat penting sekali, sehingga Imam Syafi’I pun berpendapat tentang menyempurnakan wudhu ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya dalam menyempurnakan wudhu terdapat ketaqwaan kepada Allah SWT., dan sesungguhnya pula perbuatan itu (menyempurnakan wudhu) terdapat pengetahuan bagaimana cara beribadah kepada Allah SWT.”.
Dari pernyataan Imam Syafi’I tersebut kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa menyempurnakan wudhu memiliki sebuah daya tarik yang tinggi sekali sehingga perbuatan tersebut berkaitan dengan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. dan cara beribadah kita kepada Allah SWT., oleh karena itu ada tiga perkara agar wudhu kita bisa sempurna yaitu:
Penjagaan terhadap kewajiban-kewijaban dan sunnah-sunnahnya wudhu
Penjagaan terhadap kewajiban dan sunnah di sini, maksudnya adalah menjaga wudhu kita dari sifat-sifat yang salah dan kurang sempurna, artinya ketika kita berwudhu maka berhati-hatilah melakukannya. Jangan sampai tergesa-gesa karena akan tidak sempurna basuhan kita. Contohnya, di saat kita membasuh tangan, diusahakan agar basuhan kita sempurna, jangan sampai ada bagian dari tangan yang tidak terbasuh, dari ujung jari sampai kepada siku, karena tangan merupakan salah satu bagian wudhu.
Begitu pun dengan sunnahnya wudhu yang harus kita jaga dari kesalahan dan kekurangsempurnaan, walaupun sebuah hal sunnah, tetapi haruslah kita sempurnakan, karena sunnah merupakan ibadah kepada Allah SWT., lalu apakah layak jika kita hanya bermain-main dan asal-asalan dalam hal sunnah, padahal ini dipersembahkan untuk Allah.
Berwudhulah di setiap sholat
Artinya kita dianjurkan untuk berwudhu setiap kita hendak melakukan sholat, baik sholat sunnah apalagi sholat yang wajib. Lalu akan timbul sebuah pertanyaan, bagaimana wudhunya orang yang tidak berhadats, bukankah wudhu itu bertujuan untuk menghilangkan hadats? Maka jawabannya adalah, di dalam Islam mempunyai istilah tajdid al-wudhu yang artinya memperbaharui wudhu, ini merupakan amalan sunnah jika kita melakukannya, oleh karena itu kita bisa berwudhu setiap saat dan setiap sholat, indahkan?
Wudhu setiap sholat akan mempunyai atsar atau bekas, coba kita bandingkan antara orang yang tidak berwudhu dengan orang yang sering berwudhu, maka kita akan mengetahuinya dengan jelas. Orang yang sering berwudhu, biasanya wajahnya indah dan sejuk dipandang, bahkan mempunyai aura yang cemerlang. Berbeda dengan orang yang tidak berwudhu, maka walaupun ia ganteng atau cantik, tetapi ia-nya tidak mempunyai keindahan dan kesejukan ketika kita memandangnya. Prof. DR Ali Jum’ah yang merupakan mufti Mesir menyatakan bahwa berwudhu setiap kali sholat adalah bagaikan cahaya di atas cahaya baik bagi yang berwudhu maupun tajdid al-wudhu, ketika seseoarang itu membiasakan dirinya untuk berwudhu setiap sholat maka ia akan mendapatkan ganjaran yang sangat besar sekali di sisi Allah SWT.
Mengingatkan akan kesalahan dan dosa
Wudhu juga merupakan pengingat kita akan segala dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Karena pada hakekatnya wudhu bukan hanya bertujuan sabagai syarat sahnya sholat saja, tetapi juga lebih dari itu, yaitu mempunyai makna-makna yang terpendam di dalamnya. Salah satunya adalah mengingat akan dosa dan kesalahan kita.
Ketika kita berkumur-kumur, maka ingatlah dengan apa yang diucapkan oleh mulut ini, yang suka mencaci dan apalagi memfitnah. Ketika kita menghirup dan mengeluarkan air dari hidung, maka ingatlah dengan ciuman yang tidak dihalalkan oleh Allah SWT.. Ketika kita membasuh muka, maka ingatlah dengan dosa mata dan pipi yang sering kita gunakan untuk kemaksiatan. Ketika kita membasuh kedua tangan, maka ingatlah dengan perbuatan tangan ini yang sering memukul dan melukai orang atau bahkan mencuri. Ketika kita menyapu kepala, maka ingatlah dengan pikiran kotor yang pernah terlintas dikepala, pikiran yang menjurus kepada maksiat, dan pikiran yang membuat hati kita semakin hitam. Ketika kita membasuh daun telinga, maka ingatlah dengan apa yang didengar selama ini, sudahkah kita menggunakan untuk mendengar lantunan ayat suci al-Qur’an atau mendengar gosip yang tidak bermanfaat sama sekali. dan tarakhir, ketika kita membasuh kedua kaki, apakah kaki ini digunakan untuk melangkah ke masjid Allah ataukah digunakan untuk pergi ke tempat maksiat, judi dan lain sebagainya.
Dari tulisan di atas kita bisa mengatakan bahwa wudhu juga bisa menjadi jalan untuk ber-muhasabah kepada Allah SWT., karena wudhu bukan hanya isyarat sucinya badan dari hadats, tetapi juga menjadi isyarat suci hati kita dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat yang tentunya sebagai persiapan kita menuju alam pertanggung jawaban, ketika semua anggota tubuh kita ditanya satu persatu oleh pengadilanNya Allah SWT. yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.
Oleh karena itu marilah kita berusaha dan mempraktekkan agar wudhu kita sempurna, karena wudhu adalah gerbang kebaikan dan juga pintu agar kita bisa mencapai derajat yang tinggi. Walaupun ketika udara dingin sekali, kita tetep dianjurkan untuk berwudhu, dengan cara mungkin kita bisa menggunakan air panas yang kita masak, itulah usaha kita untuk berwudhu dan Allah mengetahui apa yang kita kerjakan dan apa yang kita usahakan sehingga sempurnalah wudhu kita di sisi Allah SWT. yang Maha Melihat lagi Maha mengatahui. Wallahu ‘Alam
1 komentar:
TAMBAHAN UNTUK ARTIKEL WUDHU'
1. NIAT
Adapun letak niat adalah di hati dan tidak dilafadzkan karena memang tidak ada hadits yang menyebutkan shighat lafadz niat tersebut kecuali hadits tentang perintah Rasulullah b untuk mengucapkan lafadz basmallah ketika akan berwudhu.
Berkata Imam Asy-Syafi’i v di dalam kitab Al-Umm, Kitab Thaharah باب قدر الماء الذي يتوضأ به ,”
وَلاَ يُجْزِئُ الْوُضُوءُ إلا بِنِيَّةٍ وَيَكْفِيهِ مِنْ النِّيَّةِ فِيهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ يَنْوِي طَهَارَةً مِنْ حَدَثٍ أَوْ طَهَارَةً لِصَلاَةِ فَرِيضَةٍ أَوْ نَافِلَةٍ أَوْ لِقِرَاءَةِ مُصْحَفٍ أَوْ صَلاَةٍ عَلَى جِنَازَةٍ أَوْ مِمَّا أَشْبَهَ هَذَا مِمَّا لاَ يَفْعَلُهُ إلا طَاهِرٌ.
“Tidak sah seseorang berwudhu tanpa niat dan seseorang cukup dikatakan berniat bila ia melakukan wudhu’.Ia berniat bersuci dari hadats atau bersuci untuk shalat fardhu,atau nafilah, atau membaca al-Qur’an, atau shalat jenazah atau semisalnya yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang bersih."
Maksud dari perkataan ini adalah ketika seseorang akan mengerjakan sesuatu, ia harus tanamkan niat di dalam dirinya dengan kesungguhan bersamaan dengan pelaksanaan pekerjaan itu.
Ucapan Imam asy-Syafi’i v ini sesuai dengan perkataannya ketika membahas perkara niat shalat, juga di dalam kitab Al-Umm, Kitab Shalat باب النية في الصلاة..:
)قال الشافعي( والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
Berkata Imam asy-Syafi’i v ,”Dan niat itu tidak bisa menggantikan takbir dan tidak sah niat itu kecuali dilakukan bersamaan dengan takbir. Tidak mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.”
Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i v ini bahwa niat itu adanya di dalam hati dan tidak dilafalkan. Karena tidaklah mungkin melafalkan niat tersebut jika harus bersamaan dengan ucapan takbir apalagi tidak boleh mendahului takbir ataupun setelah takbir.
Dalam Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243Ibnu Taimiyah v berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati.
Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang mengajarkan bentuk lafadz niat itu dan sekiranya lafadz niat itu ada dari Rasulullah b pastilah telah ada pada kitab-kitab mereka. Hal ini karena masalah niat adalah perkara yang penting dan menjadi syarat keabsahan suatu ibadah, jadi niscaya mereka tidak akan meluputkannya.
2. MEMBASUH KEPALA
Banyak yang bilang Imam Asy-Syafii memilih menyapu kepala sebagian saja? Imam asy-Syafii hanya mengatakan bahwa bila sebagian kepala yang diusap, maka itu sudah mencukupi. Kemudian Imam asy-Syafii membawakan hadits-hadits yang berkaitan dengan Rasulullah yang memakai sorban kemudian mengusap bagian depan dan tepi (pilingan) kepala.
Lalu Imam asy-Syafii mengatakan jika sorban saja yang diusap tanpa bagian kepala maka tidak sah karena ibarat wanita yang mengusap burqo' (cadar) nya saja tanpa wajahnya maka itu tidak sah.
Lalu bagaimana? Imam asy-Syafii lantas mengatakan : Maka yang aku pilih adalah seseorang mengambil air lalu mengusap kepalanya dari depan menjalankan dua telapak tangannya itu ke belakang kepala dan mengembalikan lagi ke tempat awal memulainya, sebagaimana hadits dari Utsman bin Affan. Lalu Imam asy-Syafii membawakan hadits tersebut.
Kemudian Imam asy-Syafii melihat bahwa pada hadits tersebut usapan itu hanya satu kali namun Imam asy-Syafii mengatakan : Aku suka jika kepala itu diusap tiga kali walaupun satu kali saja sudah mencukupi (sebagaimana hadits di atas).
Berikut lafalnya dari Al-Umm Kitab Thoharoh Bab باب مسح الرأس , silahkan mempelajarinya:
[قَالَ الشَّافِعِيُّ] رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} وَكَانَ مَعْقُولاً فِي الآيَةِ أَنَّ مَنْ مَسَحَ مِنْ رَأْسِهِ شَيْئًا فَقَدْ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَلَمْ تَحْتَمِلْ الْآيَةُ إلَّا هَذَا وَهُوَ أَظْهَرُ مَعَانِيهَا أَوْ مَسَحَ الرَّأْسَ كُلَّهُ وَدَلَّتْ السُّنَّةُ عَلَى أَنْ لَيْسَ عَلَى الْمَرْءِ مَسْحُ الرَّأْسِ كُلِّهِ وَإِذَا دَلَّتْ السُّنَّةُ عَلَى ذَلِكَ فَمَعْنَى الآيَةِ أَنَّ مَنْ مَسَحَ شَيْئًا مِنْ رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ.
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: إذَا مَسَحَ الرَّجُلُ بِأَيِّ رَأْسِهِ شَاءَ إنْ كَانَ لاَ شَعْرَ عَلَيْهِ وَبِأَيِّ شَعْرِ رَأْسِهِ شَاءَ بِأُصْبُعٍ وَاحِدَةٍ أَوْ بَعْضِ أُصْبُعٍ أَوْ بَطْنِ كَفِّهِ أَوْ أَمَرَ مَنْ يَمْسَحُ بِهِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ فَكَذَلِكَ إنْ مَسَحَ نَزْعَتَيْهِ أَوْ إحْدَاهُمَا أَوْ بَعْضَهُمَا أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُ مِنْ رَأْسِهِ.
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ وَابْنِ عُلَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ عَمْرِو بْنِ وَهْبٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا مُسْلِمٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تَوَضَّأَ فَحَسِرَ الْعِمَامَةَ عَنْ رَأْسِهِ وَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ أَوْ قَالَ نَاصِيَتَهُ بِالْمَاءِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ أَوْ قَالَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ بِالْمَاءِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: وَإِذَا أَذِنَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الرَّأْسِ (فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مُعْتَمًّا فَحَسَرَ الْعِمَامَةَ) فَقَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الرَّأْسِ دُونَهَا وَأُحِبُّ لَوْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ مَعَ الرَّأْسِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ وَإِنْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ دُونَ الرَّأْسِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ لَوْ مَسَحَ عَلَى بُرْقُعٍ أَوْ قُفَّازَيْنِ دُونَ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ وَلَوْ كَانَ ذَا جُمَّةٍ فَمَسَحَ مِنْ شَعْرِ الْجُمَّةِ مَا سَقَطَ عَنْ أُصُولِ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ وَلَمْ يُجْزِئْهُ وَلاَ يُجْزِئُهُ إلَّا أَنْ يَمْسَحَ عَلَى الرَّأْسِ نَفْسِهِ أَوْ عَلَى الشَّعْرِ الَّذِي عَلَى نَفْسِ الرَّأْسِ لاَ السَّاقِطِ عَنْ الرَّأْسِ وَلَوْ جَمَعَ شَعْرَهُ فَعَقَدَهُ فِي وَسَطِ رَأْسِهِ فَمَسَحَ ذَلِكَ الْمَوْضِعَ وَكَانَ الَّذِي يَمْسَحُ بِهِ الشَّعْرَ السَّاقِطَ عَنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ لَمْ يُجْزِهِ وَإِنْ كَانَ مَسَحَ بِشَيْءٍ مِنْ الشَّعْرِ عَلَى مَنَابِتِ الرَّأْسِ بَعْدَمَا أُزِيلَ عَنْ مَنْبَتِهِ لَمْ يُجِزْهُ؛ لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ شَعْرٌ عَلَى غَيْرِ مَنْبَتِهِ فَهُوَ كَالْعِمَامَةِ وَلاَ يَجْزِي الْمَسْحُ عَلَى الشَّعْرِ حَتَّى يَمْسَحَ عَلَى الشَّعْرِ فِي مَوْضِعِ مَنَابِتِهِ فَتَقَعُ الطَّهَارَةُ عَلَيْهِ كَمَا تَقَعُ عَلَى الرَّأْسِ نَفْسِهِ وَالِاخْتِيَارُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ فَيَمْسَحَ بِهِمَا رَأْسَهُ مَعًا يُقْبِلُ بِهِمَا وَيُدْبِرُ يَبْدَأُ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ يَذْهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاهُ ثُمَّ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَرْجِعَ إلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ وَهَكَذَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَسَحَ.
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ (عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ قُلْت لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ هَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ وَدَعَا بِوُضُوءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ وَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ وَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: وَأُحِبُّ لَوْ مَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا وَوَاحِدَةً تُجْزِئُهُ وَأُحِبُّ أَنْ يَمْسَحَ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ وَبَاطِنَهُمَا بِمَاءٍ غَيْرِ مَاءِ الرَّأْسِ وَيَأْخُذَ بِأُصْبُعَيْهِ الْمَاءَ لِأُذُنَيْهِ فَيُدْخِلَهُمَا فِيمَا ظَهَرَ مِنْ الْفُرْجَةِ الَّتِي تُفْضِي إلَى الصِّمَاخِ وَلَوْ تَرَكَ مَسْحَ الْأُذُنَيْنِ لَمْ يُعِدْ؛ لِأَنَّهُمَا لَوْ كَانَتَا مِنْ الْوَجْهِ غُسِلَتَا مَعَهُ أَوْ مِنْ الرَّأْسِ مُسِحَتَا مَعَهُ أَوْ وَحْدَهُمَا أَجْزَأَتَا مِنْهُ فَإِذَا لَمْ يَكُونَا هَكَذَا فَلَمْ يُذْكَرَا فِي الْفَرْضِ وَلَوْ كَانَتَا مِنْ الرَّأْسِ كَفَى مَاسِحَهُمَا أَنْ يَمْسَحَ بِالرَّأْسِ كَمَا يَكْفِي مِمَّا يَبْقَى مِنْ الرَّأْسِ.
That's all, OK!!!
SANDHI KUSUMA
Posting Komentar