Berwudhu sangat banyak sekali menfaatnya, selain sebagai syarat sahnya sholat, wudhu juga sebagai penenang hati dan juga mengubur rasa marah, jika kita marah, maka wudhu lah, insya Allah marah itu akan hilang dengan kesejukan air wudhu yang mengalir disetiap anggota tubuh kita, rasakanlah bagaimana nikmatnya ketika air wudhu itu menjalar masuk ke pori-pori, yang bisa menentramkan jiwa yang sedang kalut dan resah. Wajah ini akan bersinar seolah-olah kita memakai bedak yang mahal harganya, tetapi tidak, beda sama sekali, padahal orang yang berwudhu sangat lah indah untuk dipandang dan bisa jadi aura yang keluar dari orang itu akan besar sekali, dikarenakan seringnya ia berwudhu.
Wudhu ini disebutkan didalam al-Qur’an yang mulia secara terperinci berbeda sekali dengan sholat dan zakat, yang penyebutannya tidak secara terperinci di dalam al-Qur’an, contohnya, perintah sholat, perintah sholat ini kita tidak di jelaskan secara terperinci di dalam al-Qur’an, tetapi hanya menjelaskan tentang kewajiban sholatnya saja begitu pun dengan zakat, Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. jadi melalui inilah kita mengetahui bahwa wudhu adalah sangat istimewa sekali tempatnya, tidak kalah dengan sholat dan zakat, oleh karena itu janganlah sia-siakan berwudhu. Lebih bagus lagi adalah kita selalu memperbaharui wudhu, walaupun kita tidak ingin melakukan sholat alangkah indahnya jika kehidupan kita selalu terjaga wudhunya, sehingga hati kita terjaga dan juga diridhoi oleh Allah amin.
Wudhu mempunyai rukun-rukun yang harus kita penuhi dalam melaksanakan ibadah berwudhu, masalah jumlahnya, para Ulama ada yang berbeda, madzhab asy-Syafi’iyah menyatakan bahwa wudhu mempunyai enam rukun, tetapi berbeda dengan kalangan madzhab al-Hanafiyah, yang menyatakan bahwa rukun wudhu mempunyai empat perkara, hal ini sesuai dengan apa yang terkandung di dalam surah al-Maidah ayat 6, jika madzhab asy-Syafi’iyah di tambahkan dengan niat dan tertib saja, sehingga berjumlah enam perkara. Selain itu jumhur al-Ulama atau mayoritas ulama menyatakan bahwa rukun wudhu ada enam perkara, sama seperti statement Imam Syafi’I, Oleh karena itu penulis menjelaskan rukun wudhu yang enam, agar semuanya bisa dijelaskan, baik kalangan Syafi’iyah maupun kelompok Hanafiyah.
01. Niat
Niat adalah sebuah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu dan menghadirkan perbuatannya di dalam hati, sehingga ia sadar bahwa ia sedang berwudhu. Oleh karena itu niat bukanlah di lafadz kan melalui lisan, tetapi terbersit di dalam hati, lalu bagaimana dengan niat wudhu yang pernah kita temukan di buku-buku yang menjelaskan tentang niat berwudhu dengan lafal yang masyhur itu, biasanya niat ini dilakukan di saat kita mencuci kedua telapak tangan sebelum berwudhu, maka lafal ini sering kita ucapkan, tetapi itu hanyalah sebagai pengarah kita agar niat yang sebenarnya di dalam hati yang berbarengan dengan membasuh wajah bisa terlaksana, sama juga di dalam sholat yang niat sebenernya adalah ketika berbarengan dengan takbir al-ihram bukan sebelum takbir al-ihram.
Rukun yang paling pertama menurut madzhab Syafi’I adalah niat, Imam Syafi’I mengatakan di dalam kitabnya yang sangat fenomenal dan menjadi rujukan seluruh ulama yang bermadzhab Sayfi’I yaitu al-Umm, beliau menyatakan, “Tidak sah wudhunya seseorang kecuali dengan adanya niat, cukup dengan sebuah perkataan niat, saya niat berwudhu untuk menyucikan dari hadats,” selain itu juga dikarenakan niat merupakan awal dari segala perbuatan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, bahwa niat ini bukanlah rukun akan tetapi merupakan bagian dari sunnahnya wudhu, contohnya ketika kita masuk di kolam yang penuh dengan air (seperti kolam renang) maka sudah otomatis kita berwudhu, walaupun sebelumnya tidak ada niatan sama sekali untuk berwudhu, karena disaat kita berada di dalam air, seluruh anggota yang diwajibkan untuk berwudhu, sudah terkena basuhan air, ini menurut imam Hanafi.
02. Membasuh wajah
“Maka basuhlah mukamu“, Para Ulama sepakat bahwa batasan membasuh muka adalah dengan rincian sebagai berikut:
- Bagian atas wajah, dibatasi dengan tempat tumbuhnya rambut kepala
- Bagian kanan dan kiri wajah, dibatasi oleh pentil telinga
- Bagian bawah wajah, dibatasi dengan janggut
03. Membasuh kedua tangan
“tanganmu sampai dengan al-Marafiq (siku)”, sebagian orang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Marafiq pada surat Maidah ini adalah pergelangan tangan, yaitu tulang yang menonjol di samping telapak tangan, akan tetapi yang dimaksud dengan al-Marafiq di ayat tersebut adalah siku alias sikut. Dan semua umat Islam –alhamdulillah- sudah mengetahui hal itu sehingga mewajibkan membasuh tangan hingga siku, dan bahkan ada sebagian muslim melebihkannya hingga kepundak, karena basuhan wudhu yang mengalir di bagian tubuh kita, agar terang seperti cahaya pada hari akhirat nanti. Dan yang terakhir adalah membasuh tangan kiri dahulu, setalah itu baru kemudian membasuh tangan yang sebelah kiri, secara bergantian.
04. Menyapu rambut atau kepala
“Imsahu (Sapulah) kepalamu”, lafal imsahu dalam ayat itu menuai banyak perbedaan para ulama, ada yang mengatakan lafal imsahu mempunyai makna sebagian, pendapat ini keluarkan oleh madzhab Syafi’I, berbeda dengan madzhab Maliki, yang menyatakan bahwa , lafal imsahu memiliki arti sama seperti membasuh, sehingga menurut imam Maliki pengertian menyapu rambut adalah semuanya alias seluruh rambut haruslah terkena air.
05. Membasuh kedua kaki
“(basuh) kakimu sampai dengan al-Ka’bain (kedua mata kaki)”, kita mendahalukan yang kanan dan kemudian yang kiri. al-Ka’bain adalah dua tulang yang menonjol dan terletak di samping kaki yang kita kenal dengan mata kaki, berbeda dengan ulama kontemporer yang terdahulu mengartikan al-Ka’bain dengan al-‘aqib yang berarti tumit (dengkul), hal ini sama seperti prasangka sebagian orang.
06. Tertib
Imam Syafi’I menyatakan bahwa tertib atau berurutan adalah termasuk rukun wudhu, karena ingin mengikuti surat al-Maidah tersebut, berbeda dengan Imam Maliki, tertib bukanlah termasuk rukun wudhu, sehingga wudhunya tetap sah jika kita mendahulukan kaki ketimbang wajah, dan lain sebagainya.
Begitulah rukun wudhu yang wajib kita lakukan, dengan sempurnanya rukun wudhu yang kita lakukan ini maka kita bisa melakukan sholat, thawaf di Baitullah dan membaca al-Qur’an. Oleh karena itu sempurnakanlah wudhu kita, dengan memperhatikan betul apa yang dirukunkan dalam berwudhu, jangan sampai kita menyepelekannya sehingga ada rukun wudhu yang kurang sempurna pada akhirnya rusaklah wudhu kita dan tidak sah lah sholat kita.
Penulis juga ingin menyebutkan beberapa sunnahnya berwudhu agar lebih sempurna dan afdhol-nya wudhu kita, sunnah wudhu ada 10 perkara, yaitu:
01. Membaca bismillah di awal sebelum memulai wudhu
02. Membasuh dua telapak tangan dengan cara menggosok-gosokkannya
03. Menyela-nyelai di antara jari-jari baik jari kaki maupun jari tangan
04. Berkumur-kumur, menyedot air dengan hidung, dan mengeluarkan air dengan hidung, tiga kali berturut-turut, sedangkan bagi orang yang berpuasa boleh melakukan hal itu tetapi jangan sampai berlebihan, dikarenakan akan membatalkan wudhu.
05. Membasuh wajah tiga kali dengan cara menggosok-gosokkannya
06. Menyela-nyelai jenggot, jika kita orang yang berjenggot tebal
07. Membasuh kedua tangan hingga siku tiga kali dengan cara menggosok-gosokannya, dan juga membasuh lengan atas.
08. Menyerapkan air ke pori-pori kepala ketika menyapuh kepala
09. Menyapu kedua daun telinga tiga kali
10. Membasuh kedua kaki hingga lutut tiga kali dengan cara menggosok-gosokkannya, serta juga membasuh betis.
Demikian lah penjelasan dari penulis, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua, amin
----------------------------
Oleh: Ibnu Saduki al-Bekasi (Kitab Mashadir: “ al-Kalim al-Thayyib fatawa ‘Isyriyyah” karya Prof. DR. Ali Jum’ah [Mufti Mesir])
1 komentar:
TAMBAHAN UNTUK ARTIKEL WUDHU'
1. NIAT
Adapun letak niat adalah di hati dan tidak dilafadzkan karena memang tidak ada hadits yang menyebutkan shighat lafadz niat tersebut kecuali hadits tentang perintah Rasulullah b untuk mengucapkan lafadz basmallah ketika akan berwudhu.
Berkata Imam Asy-Syafi’i v di dalam kitab Al-Umm, Kitab Thaharah باب قدر الماء الذي يتوضأ به ,”
وَلاَ يُجْزِئُ الْوُضُوءُ إلا بِنِيَّةٍ وَيَكْفِيهِ مِنْ النِّيَّةِ فِيهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ يَنْوِي طَهَارَةً مِنْ حَدَثٍ أَوْ طَهَارَةً لِصَلاَةِ فَرِيضَةٍ أَوْ نَافِلَةٍ أَوْ لِقِرَاءَةِ مُصْحَفٍ أَوْ صَلاَةٍ عَلَى جِنَازَةٍ أَوْ مِمَّا أَشْبَهَ هَذَا مِمَّا لاَ يَفْعَلُهُ إلا طَاهِرٌ.
“Tidak sah seseorang berwudhu tanpa niat dan seseorang cukup dikatakan berniat bila ia melakukan wudhu’.Ia berniat bersuci dari hadats atau bersuci untuk shalat fardhu,atau nafilah, atau membaca al-Qur’an, atau shalat jenazah atau semisalnya yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang bersih."
Maksud dari perkataan ini adalah ketika seseorang akan mengerjakan sesuatu, ia harus tanamkan niat di dalam dirinya dengan kesungguhan bersamaan dengan pelaksanaan pekerjaan itu.
Ucapan Imam asy-Syafi’i v ini sesuai dengan perkataannya ketika membahas perkara niat shalat, juga di dalam kitab Al-Umm, Kitab Shalat باب النية في الصلاة..:
)قال الشافعي( والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
Berkata Imam asy-Syafi’i v ,”Dan niat itu tidak bisa menggantikan takbir dan tidak sah niat itu kecuali dilakukan bersamaan dengan takbir. Tidak mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.”
Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i v ini bahwa niat itu adanya di dalam hati dan tidak dilafalkan. Karena tidaklah mungkin melafalkan niat tersebut jika harus bersamaan dengan ucapan takbir apalagi tidak boleh mendahului takbir ataupun setelah takbir.
Dalam Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243 Ibnu Taimiyah v berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati.
Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang mengajarkan bentuk lafadz niat itu dan sekiranya lafadz niat itu ada dari Rasulullah b pastilah telah ada pada kitab-kitab mereka. Hal ini karena masalah niat adalah perkara yang penting dan menjadi syarat keabsahan suatu ibadah, jadi niscaya mereka tidak akan meluputkannya.
2. MEMBASUH KEPALA
Kata siapa Imam Asy-Syafii memilih menyapu kepala sebagian saja? Imam asy-Syafii hanya mengatakan bahwa bila sebagian kepala yang diusap, maka itu sudah mencukupi. Kemudian Imam asy-Syafii membawakan hadits-hadits yang berkaitan dengan Rasulullah yang memakai sorban kemudian mengusap bagian depan dan tepi (pilingan) kepala.
Lalu Imam asy-Syafii mengatakan jika sorban saja yang diusap tanpa bagian kepala maka tidak sah karena ibarat wanita yang mengusap burqo' (cadar) nya saja tanpa wajahnya maka itu tidak sah.
Lalu bagaimana? Imam asy-Syafii lantas mengatakan : Maka yang aku pilih adalah seseorang mengambil air lalu mengusap kepalanya dari depan menjalankan dua telapak tangannya itu ke belakang kepala dan mengembalikan lagi ke tempat awal memulainya, sebagaimana hadits dari Utsman bin Affan. Lalu Imam asy-Syafii membawakan hadits tersebut.
Kemudian Imam asy-Syafii melihat bahwa pada hadits tersebut usapan itu hanya satu kali namun Imam asy-Syafii mengatakan : Aku suka jika kepala itu diusap tiga kali walaupun satu kali saja sudah mencukupi (sebagaimana hadits di atas).
Berikut lafalnya dari Al-Umm Kitab Thoharoh Bab باب مسح الرأس , silahkan mempelajarinya:
[قَالَ الشَّافِعِيُّ] رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ} وَكَانَ مَعْقُولاً فِي الآيَةِ أَنَّ مَنْ مَسَحَ مِنْ رَأْسِهِ شَيْئًا فَقَدْ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَلَمْ تَحْتَمِلْ الْآيَةُ إلَّا هَذَا وَهُوَ أَظْهَرُ مَعَانِيهَا أَوْ مَسَحَ الرَّأْسَ كُلَّهُ وَدَلَّتْ السُّنَّةُ عَلَى أَنْ لَيْسَ عَلَى الْمَرْءِ مَسْحُ الرَّأْسِ كُلِّهِ وَإِذَا دَلَّتْ السُّنَّةُ عَلَى ذَلِكَ فَمَعْنَى الآيَةِ أَنَّ مَنْ مَسَحَ شَيْئًا مِنْ رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ.
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: إذَا مَسَحَ الرَّجُلُ بِأَيِّ رَأْسِهِ شَاءَ إنْ كَانَ لاَ شَعْرَ عَلَيْهِ وَبِأَيِّ شَعْرِ رَأْسِهِ شَاءَ بِأُصْبُعٍ وَاحِدَةٍ أَوْ بَعْضِ أُصْبُعٍ أَوْ بَطْنِ كَفِّهِ أَوْ أَمَرَ مَنْ يَمْسَحُ بِهِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ فَكَذَلِكَ إنْ مَسَحَ نَزْعَتَيْهِ أَوْ إحْدَاهُمَا أَوْ بَعْضَهُمَا أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُ مِنْ رَأْسِهِ.
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ وَابْنِ عُلَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ عَمْرِو بْنِ وَهْبٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا مُسْلِمٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تَوَضَّأَ فَحَسِرَ الْعِمَامَةَ عَنْ رَأْسِهِ وَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ أَوْ قَالَ نَاصِيَتَهُ بِالْمَاءِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ أَوْ قَالَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ بِالْمَاءِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: وَإِذَا أَذِنَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الرَّأْسِ (فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مُعْتَمًّا فَحَسَرَ الْعِمَامَةَ) فَقَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الرَّأْسِ دُونَهَا وَأُحِبُّ لَوْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ مَعَ الرَّأْسِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ وَإِنْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ دُونَ الرَّأْسِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ لَوْ مَسَحَ عَلَى بُرْقُعٍ أَوْ قُفَّازَيْنِ دُونَ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ وَلَوْ كَانَ ذَا جُمَّةٍ فَمَسَحَ مِنْ شَعْرِ الْجُمَّةِ مَا سَقَطَ عَنْ أُصُولِ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ وَلَمْ يُجْزِئْهُ وَلاَ يُجْزِئُهُ إلَّا أَنْ يَمْسَحَ عَلَى الرَّأْسِ نَفْسِهِ أَوْ عَلَى الشَّعْرِ الَّذِي عَلَى نَفْسِ الرَّأْسِ لاَ السَّاقِطِ عَنْ الرَّأْسِ وَلَوْ جَمَعَ شَعْرَهُ فَعَقَدَهُ فِي وَسَطِ رَأْسِهِ فَمَسَحَ ذَلِكَ الْمَوْضِعَ وَكَانَ الَّذِي يَمْسَحُ بِهِ الشَّعْرَ السَّاقِطَ عَنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ لَمْ يُجْزِهِ وَإِنْ كَانَ مَسَحَ بِشَيْءٍ مِنْ الشَّعْرِ عَلَى مَنَابِتِ الرَّأْسِ بَعْدَمَا أُزِيلَ عَنْ مَنْبَتِهِ لَمْ يُجِزْهُ؛ لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ شَعْرٌ عَلَى غَيْرِ مَنْبَتِهِ فَهُوَ كَالْعِمَامَةِ وَلاَ يَجْزِي الْمَسْحُ عَلَى الشَّعْرِ حَتَّى يَمْسَحَ عَلَى الشَّعْرِ فِي مَوْضِعِ مَنَابِتِهِ فَتَقَعُ الطَّهَارَةُ عَلَيْهِ كَمَا تَقَعُ عَلَى الرَّأْسِ نَفْسِهِ وَالِاخْتِيَارُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ فَيَمْسَحَ بِهِمَا رَأْسَهُ مَعًا يُقْبِلُ بِهِمَا وَيُدْبِرُ يَبْدَأُ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ يَذْهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاهُ ثُمَّ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَرْجِعَ إلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ وَهَكَذَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مَسَحَ.
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ (عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ قُلْت لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ هَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ وَدَعَا بِوُضُوءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ وَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ وَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ).
[قَالَ الشَّافِعِيُّ]: وَأُحِبُّ لَوْ مَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا وَوَاحِدَةً تُجْزِئُهُ وَأُحِبُّ أَنْ يَمْسَحَ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ وَبَاطِنَهُمَا بِمَاءٍ غَيْرِ مَاءِ الرَّأْسِ وَيَأْخُذَ بِأُصْبُعَيْهِ الْمَاءَ لِأُذُنَيْهِ فَيُدْخِلَهُمَا فِيمَا ظَهَرَ مِنْ الْفُرْجَةِ الَّتِي تُفْضِي إلَى الصِّمَاخِ وَلَوْ تَرَكَ مَسْحَ الْأُذُنَيْنِ لَمْ يُعِدْ؛ لِأَنَّهُمَا لَوْ كَانَتَا مِنْ الْوَجْهِ غُسِلَتَا مَعَهُ أَوْ مِنْ الرَّأْسِ مُسِحَتَا مَعَهُ أَوْ وَحْدَهُمَا أَجْزَأَتَا مِنْهُ فَإِذَا لَمْ يَكُونَا هَكَذَا فَلَمْ يُذْكَرَا فِي الْفَرْضِ وَلَوْ كَانَتَا مِنْ الرَّأْسِ كَفَى مَاسِحَهُمَا أَنْ يَمْسَحَ بِالرَّأْسِ كَمَا يَكْفِي مِمَّا يَبْقَى مِنْ الرَّأْسِ.
That's all, OK!!!
SANDHI KUSUMA
Posting Komentar